LETS LOVE FULLFILL YOUR HEART

Senin, 11 Juli 2011

PKB dalam Absurditas Sisifus



Beberapa hari lalu nuraniku terasa terkoyak. Dada sesak. Panas menyeruak dan menanjak ke ubun-ubun. Tak bisa kutahan geram dalam dada yang membara. Ah, berita buruk di Senin pagi. Bukan itu yang kuharapkan di tengah carut marutnya negeriku. Tak adakah berita baik? Ataukah berita baik itu tenggelam oleh ramainya teriakan berita buruk?
Kucoba tuk tak melempari televisi di depanku yang menyampaikan berita duka. Ya, berita duka akan adanya rencana Pesta Kesenian Bali (PKB) diselenggarakan tiga tahun sekali. “Negeri apa ini” keluhku bagai peluh yang keluar dari seluruh pori tubuh. Wacana ajeg Bali makin getol diumbar namun sekerap itu pula upaya pengingkaran mewabah. Bukankah ini suatu paradoks yang akan berkembang menjadi nihilisme  dan abdsurditas?
Kucoba menggiring memoriku menyelam ke masa silam. Ke masa dimana suatu nihilisme dan absurditas diterima dengan bijak oleh Sisifus sebijak kita berkilah tentang ajeg Bali. Bisa kubayangkan Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani itu, mungkin kini merasa tak sendiri. Sisifus yang rela menanggung kutukan dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia kini punya teman, KITA. Dia dihukum mengangkat batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya menggelinding ke bawah dan mengangkatnya kembali ke atas bukit. Begitupun kita mewacanakan dan mengupayakan ajeg Bali hanya untuk melihat hal ini dikhianati dan dirombak jadi puing kenangan sejarah.
Kubayangkan peluhnya mengucur dalam terpaan terik mentari. Kubayangkan haus penuhi kerongkongannya. Betapa kering bibir orang tua itu. Mungkin dia berhenti sesaat untuk menarik nafas dan mengais sisa semangatnya sambil mendongak mengira-ngira berapa jarak yang masih harus ditempuhnya. Ketika sampai di atas bukit, mungkin dia melongok ke bawah. Tersenyum lega dan merayakan kemenangan untuk sekian detik.
Dalam batas waktu yang pendek, itu dia memuncaki perjuangannya. Namun, ketika detik hukuman kembali melambai ia harus rela dan pasrah. Kubayangkan betapa pucat pasinya dia sepucat diriku merenungi berita duka tentang PKB. Dia dengan langkah lesu dan ragu namun tak kuasa menolak, mendorong batu besar itu ke bawah. Betapa kecewanya ia sekecewa diriku tentang ajeg Bali yang seolah hanya sebatas wacana  dan polemik tanpa niat yang kokoh untuk mewujudkannya.
Mungkin tak ada sekelumit  nada bahagia di wajahnya. Yang ada hanya tawa getir seiring tatapan sayu mengikuti batu yang melucur deras ke bawah bukit. Bisakah kita bayangkan sisifus bahagia? Jika bisa, tentu kita bisa pula bahagia membayangkan absurditas wacana perubahan waktu penyelenggaraan PKB dan cita-cita ajeg Bali yang baru sebatas diskusi di menara gading.
Albert Camus menyarankan “haruslah dibayangkan Sisifus bahagia.” Dan kini hal yang sama pula mungkin akan disarankan penguasa kita yang bermuka dua. “Haruslah dibayangkan ajeg Bali terjadi”. Dan manusia Bali harus berbahagia walau kita tiap hari menggiring batu semangat penegakan budaya Bali hanya untuk kita gelindingkan kembali dengan perintah sang penguasa. Inilah kutukan manusia Bali. Inilah kutukan kita. Senantiasa berlaku bagai Sisifus. Namun pada akhirnya yang bisa kita lakukank hanyalah membayangkan bahwa kita berbahagia walau mengerjakan sesuatu yang sia-sia.
Tak ada penyakit yang paling menyedihkan dari melakukan pekerjaan yang sia-sia. Dan manusia Bali hari ini sedang berjuang melawan penyakit itu. Jika penyakit itu tak kunjung terobati maka “haruslah dibayangkan.....” Ah mengatakan saja aku tak bisa, apalagi membayangkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar