LETS LOVE FULLFILL YOUR HEART

Kamis, 20 Oktober 2011

Aku Hanya Seorang Kuli


mimpiku menguap tatkala pagi merayap
sinar mentari mulai menggerayangi relung jiwa
tetes embun melebur deru kantuk
... mobil menderu semangat pun menggebu

tanpa sepotong roti menyapa
tanpa secangkir kopi menepi
berbekal pena dan kertas
kuterabas relung relung misteri birokrasi
kurangkai jerit petani yang menggigit jari
kudesahkan keluh anak jalanan
kuteriakkan betapa redupnya kehidupan nelayan

siang merapat
terik menyengat
kerongkongan tersekat
namun keganjilan belum semua tercatat

keganansan ibu kota mengintip tiap jengkal langkah
desah menanggung resah
deru nafas meradang berat
banyak pengerat merapat
tawarkan amplop berhias laknat
namun hati tak terpikat
nurani berkelit
jiwa berontak
berteriak

tak kan kunodai sumpah setia
tak kan kutukar kejujuran dengan keserakahan
walau hingga malam
sepotong roti pun belum sempat kuenyam
 

Krama Bali : Nyunjung Satru Ngarap Ruang??

Ironis!!!! Krama Bali Seolah-Olah Nyunjung Satru Ngarap Ruang (Tersenyum Untuk Umat Lain Tapi Bertengkar Dengan Saudara Sendiri)
Hal Ini Dijadikak Celah Oknum2 Tertentu Untuk Mengubah Kepercayaan Nyama Bali
Faktanya 27.500 Umat Hindu Beralih Ke Agama A, 20.000 Ke Agama B,,
Akankah Eksistensi Umat Hindu Tetap Terjaga Jika Kita Sibuk Bertengkar Dengan Sesama, Berebut Tapl Batas, Menyerakahi Kuburan,,Menyerakahi Pura
Mari Saudaraku,,,,Bangunlah Dari Tidur Lelapmu,,,,Tengok Umat Sedharmamu,,,,Rangkul Mereka,,,Hilang Sifat Dengki Dan Iri Hati Pada Nyama Atugelan

Kembalikan Baliku

oleh Pram Daud pada 25 Agustus 2011 jam 20:32
Pulau dewata kini dikepung keganjilan
Pulau kecil ini tersudut bisu
Manisya madu dan kue Pariwisata tanpa diasadari mengandung racun terselubung
Dan manusia Bali mulai tak mampu memuntahkan racun itu
Mereka menelannya mentah-mentah
Pariwisata bak raja
Di luar itu hanya budak belaka
Akibatnya petani padi menjerit kekurangan air
Peternak sapi terkulai lesu meratap
Nelayan berkeluh kesan tanpa tangkapan ikan
Jaba pura digadaikan jadi lapangan golf
Bahkan pura harus bersaing dengan bisingnya karaoke di malam hari
Kafe merenggut pamedek dari dewata
Ketaksuan kian luntur
Desa pakraman bertekuk lutut di hadapan kapitalis
Alam turut menjerit
Tepi pantai penuh puntung rokok
Jurang dan tebing ditembok
Sawah disulap jadi beton
Kaki gunung tak henti-hentinya dikeruk
Makin hari ia makin pincang menunggu tumbang
Ahh..dimana pejabat
Dimana penjaga taksu Bali
Mungkinkah mereka mabuk mengecap manisnya pariwisata Bali
Mungkinkah mereka lupa nyame brayenya yang petani, peternak dan nelayan
Ahhh....kembalikan Baliku
Bali yang dihiasi berjuta-juta hamparan sawah hijau
Dipenuhi jutaan petani yang bernyanyi merdu bukannnya menangis sendu
Bali yang dibisingkan suara jutaan ternak
Yang digiring pemilikknya penuh suka cita bukannya berduka
Bali yang menjadi surga bagi nelayan
Bukan dunia tanpa kepastian terombag-ambing di lautan.
Oh Baliku aku merindukanmu
Kapan kau kemabli memelukku mesra
Diiringi nyanyian dewata dan alunan genta?
Ahhh..mana Baliku yang kukenal

BISAKAH BALI TETAP BERSOLEK

oleh Pram Daud pada 25 Agustus 2011 jam 21:46
Pram, tiak bisa kusembunyikan gelisahku. Sebagai putra Bali, nurani menjerit. Tak bisa kubanyangkan bagaimana wajah tanah yang turun-tremurun kuwarisi dari leluhurku. Kini pulau dewata tak elol lagi Pram. Ketaksuan tanah para dewa-dewi ini kini digugat dinamika zaman. Sampai kapankah kami bisa bertahan?
Manisnya kue pariwisata telah membutakan manusia Bali, Pram. Banyak diantara kami mabuk dan tenggelam dalam kenikmatan peribadi. Investor asing dengan ramahnya menawarkan guci-guci anggurnya. Manusia Bali pun terus meneguk dan menelannya mentah-mentah.
Wacana-wacana demi wacana terus bergulir dari meja diskusi yang satu ke meja lainnya. Pemerintah hanya bisa beretorika bahkan membuat kebijakan di luar akal sehat manusia Bali. Kebijakan pro rakyat pun hanya menjadi hitam di atas putih bukan realita. Rasa keadilan hanya jadi hayalan. Dan kini wacana hangat sedang bergulir Pram. Orang-orang berdasi itu berencana mempermak wajah Bali. Mereka menggelontorkan wacana yang tak sedap didengar maupun dipandang. Tahukah kau apa itu Pram?
Ah...Mungkin kau akan tertawa sinis mendengar jawabanku. Atau juga mungkin kau akan menangis mendengar kabar ini. Bisa jadi ini adalah berita duka bagi pulau serubi pura ini. Bisa jadi ini wacana ini adalah gerbang menuju runtuhnya taksu Bali. Tapi tunggu dulu! Kau kenapa Pram?? Oh iya aku tahu. Kau akan mencatat wacana ini dalam lika-liku sejarah perjalanan tanah Bali. Trima kasih Pram..
Baiklah aku akan mulai bercerita. Begini Pram.
Tak bisa kumengerti bagaimana jalan pikiran segelintir pejabat kita dan pemerintah pusat. Dengan dalih memecahkan masalah kepadatan pemukiman di Denpasar, mereka berniat membangun rumah susun Pram. Tahukah kau Pram, apa yang terjadi jika itu terealisasi? Wajah bali akan makin kumuh Pram. Wajah pulau yang digembar-gemborkan sebgai pulau surga ini akan borok dan bernanah.
Bali tak kan bisa bersolek lagi. Kecantikannya akan luntur bahkan berangsur-angsur akan tenggelam dalam kenistaan. Tak mungkin akan ada kumbang lagi yang menegok pulau yang kita kasihi ini. Tak mungkin lagi mentari tersenyum cerah pada kami. Semua akan berubah kelabu Pram. Para dewa pun mungkin akan enggan tinggal disini. Kau tahu kenapa? Karena rumah susun itu senyatanya tak sesuai dengan konsep budaya dan religius orang Bali. Bisakah kau bayangkan Pram, tak kan ada lagi vibrasi kesucian. Tak akan ada lagi konsep asta kosala-kosali yang begitu kita junjung. Tak akan ada lagi raung menyama braya yang hangat dan penuh keakraban. Manusia Bali akan dijejalkan pada sebuah bangunan yang senyata menyumpan jutaan masalah sosial budaya dan benih-benih perselisihan.
Tapi pemerintah berdalih, pembangunan ini demi keluarga miskin di Bali, demi menyiasati sempitnya lahan pemukiman dan mencegahan pemukiman kumuh. Ahh...bulshit. Kau tahu Pram, semiskin-miskinnya orang Bali, tidak mungkin tidak, mereka pasti punya sebidang tanah di kampungnya. Dan itu kurasa sudahlah cukup untuki menunjukkan esksistensi ke-Balian-nya. Lalu rumah susun ini untuk siapa?
Jikapun rumah susun itu dibangun , kuyakin Pram, manusia Bali yang begitu kental nuansa religiusnya akan enggan tinggal di rumah susun. Bahkan mungkin mereka akan jijik dan muntah mencium aromanya.
Asal kau tahu Pram, kami tak ingin Bali seperti Jakarta yang penuh rumah susun namun malah terkesan kumuh, semrawut dan menyimpan masalah sosial budaya teramat pelik. Kaulihat saja Pram, rumah susun di Jakarta mayoritas dihuni penduduk pendatang yang mengecap rejeki di ibukota. Keberadaan warga asli, warga Betawi, hanya riak kecil di tengah lautan. Akankah rumah susun itu hanya jadi sarangnya warga pendatang yang kian hari kian merongrong ke-Bali-an kita?
Lalu apa untungnya bagi kita? Warga pendatang yang makan nangka tapi kita yang kena getahnya. Ahh..mungkin pandanganku terlalu sempit Pram. Mungkin pula kau menghujatku tidak nasionalis, tidak tenggang rasa. Tapi asal kau tahu Pram, manusia Bali sudah cukup bertenggang rasa, hingga kami terus dirongrong dan diperdaya. Kini saatnya kami tegas dan teguh menjaga tanah kami, walau dengan kengototan sekalipun.
Bali ini milik kami bukan milik investor, bukan milik pendatang bukan pula milik pejabat. Bali ini warisan leluhur kami dan amat durhakalah jika kami berpaling darinya, tak melindunginya atau bahkan mengabaikannya. Semoga kau setuju Pram.