LETS LOVE FULLFILL YOUR HEART

Jumat, 29 Juli 2011

Garuda Kembali Melengking, Mimpi pun Kian Dekat Jadi Nyata




Selamat malam Pram. Kita jumpa lagi. Maaf lama tak menyapamu. Bukan sombong bukan sibuk bukan pula karna aku lupa padamu tapi karena otakku  selama ini beku Pram.
 Tapi Pram, kemarin malam, pikirannku terasa tersambar petir teramat dahsyat. Betapa tidak. Tim Merah Putih “Garuda” kebanggaanku mengepakkan sayapnya yang sempat patah dan rontok saat dibantai Malaysia pada laga final piala AFF Desember 2010 silam.
Garudaku kembali melengking Pram. Paruh-paruh tajamnya kembali terasah dan menyanyat-nyanyat musuhnya. Dan kali ini Turkmenistanlah yang jadi santapan empuknya dalam ajang Prap-Piala Dunia yang mendebarkan itu. Di lapangan gelora Bung Karno, mereka membakar semangat ribuan orang-orang yang sama antusiasmenya denganmu saat berhadapan dengan pena dan kertas.
Tak bisa kugambarkan betapa berdebarnya dada kami sejak peluit babak pertama menjerit. Bola itu menggelinding dari kaki ke kaki Pram. Dan, bisa kurasakan betapa bersahabat dan patuhnya si kulit bundar itu saat berciuman dengan kaki laskar garuda kita Pram.
Namun, kegelisahan kami tetap tak terbendung Pram. Ibarat seorang suami yang sedang menunggui istrinya di rumah sakit bersalin yang harap-harap cemas apakah tangisan putra atau putri yang menyambar telinganya. Hati kami pun demikian Pram, sering pindah haluan menebak-nebak antara kalah atau menang.
Pram...! Pram...! Seandaianya kau ada diantara kami dan menyaksikan langsung betapa panasnya Gelora Bung Karno terbakar jutaan semangat dan harapan,  kau pasti akan membuat cerita kemenangan kami makin lengkap dengan cerpen atau mungkin rekaman tertulismu yang lain. Sayangnya, hanya ada kami Pram! Cucu dan cicitmu yang ibarat anak ayam baru menetas. Kami akan linglung jika tak ada induk yang menuntun kami.
Dan terbukti Pram! Aku kini dalam kelinglungan dan kebingungan menuliskan momen bersejarah itu. Euforia kemenangan begitu memabukkan diriku hingga kosa kataku di kepalaku pun ikut berpesta, menari, tertawa, dan berteriak penuh harap mendukung garuda agar bisa menepi di Piala Dunia.
Mereka bahkan sempat mengancamku akan mogok jika kupaksa mereka bekerja untuk tulisannku saat semua pendukung garuda, termasuk mereka, sedang menikmati kemenangan. Kosaka kata itu berteriak angkuh Pram, “Hei Kau....!! Tak pantas kau menyebut dirimu pembela garuda jika kau menghalangi kami mengapresisi kemenangan tim kebanggaan kami!”.
Ah....Mukaku langsung memerah Pram. Daun telingaku pun tak seelok sebelumya. Ia tampak gersang dan kering Pram. Tak kuasa kututupi indraku mendenganr sindiran tajam itu. Dengan penuh ragu dan malu kujawab mereka.
“Maaf bung! Kita semua pecinta garuda. Kita semua rela berkorban darah untuk garuda seperti tim merah putih kita yang harus berjibaku menegakkan dan mengepakkan sayap garuda. Kuakui nasionalisme sepak bola kalian.”
“Dan untuk itu, kuliburkan kalian sehari ini. Tak usah bekerja. Nikmatilah kemenangan ini. Tapi ingat! Besok saat kau terbangun dan sadar dari mabuk kemenangan ini, bekerjalah lebih giat seperti tim merah putih yang pasti juga tak kan terus bermabuk-mabukan. Perjuangan belum selesai kawan. Penerbangan kita masih jauh menuju bandara Piala Dunia. Jangan sampai kita sesumbar dan menggangap remeh tugas yang kan datang menjelang.”
“Mari rapatkan barisan!  Seperti huruf A sampai Z, hanya kan menjema menjadi kosa kata jika terangkai dan bersatu padu. Begitu pula kita, pendukung garuda dan tim merah putih harus seia sekata dalam penerbangan menuju prestasi yang lebih cemerlang. Yang satu tak kan berguna tanpa yang lainnya. Kesalahan satu dua orang dalam pertandingan adalah kesalahan tim, kesalahan pelatih, kesalahan kita, kesalahan suporter bahkan kesalahan presiden juga karena mereka mengatasnamakan tim merah putih. Karenanya,  hendaknya jangan terlalu dibesar-besarkan atau mencari kambing hitam,”
Benar kan Pram? Kuharap kau setuju Pram.
Oh ya Pram, mungkin kata-kataku terlalu kaku dan ngawur, ngelantur atau mungkin seperti kata-kata orang ngelindur di siang bolong hari ini. Maklumlah, kemarin pesta semalaman jadi masih rada-rada puyeng. Hehe..
Okelah Pram! Doakan ya, moga tim garuda mampu mencukur lawan-lawannya lagi tuk memuaskan mimpi kami berlaga di Piala Dunia.
Garuda di dadaku. Garuda kebanggaaku. Kuyakin hari ini pasti menang. Salam sepak bola Indonesia.!

Sabtu, 23 Juli 2011

Stop Truk di Jalan-jalan, Istri Diikat di Pohon

Kadek Warniti  warga asal Buleleng terpaksa diikat di sebuah pohon di sebelah rumahnya di kawasan Jalan Kargo Sari, Kelurahan Ubud Kaja. Pasalnya, dia sering keluar ke jalan raya menyetop truk-truk yang melaju kencang.
Sang suami Ketut Darmada saat ditemui di rumahnya Sabtu (23/7) kemarin mengakui, selama bertahun-tahun istrinya mengalami gangguan kejiwaan dan sejak seminggu yang lalu penyakit istrinya kambuh. Ibu tiga anak ini sering keluar ke jalan raya dan menyetop mobil maupun truk yang melaju kencang. Dia pun terpaksa diikat di sebuah pohon di sebelah rumahnya karena sang suami Ketut Darmada kuatir istrinya tertabrak.
Kadek Warniti  warga yang kini tinggal di kawasan Jalan Kargo Sari, Kelurahan Ubud Kaja ini sebelumnya normal-normal saja. Namun, semenjak kelahiran anak keduanya, perangai wanita asal Buleleng ini mulai berubah. Tingginya kebutuhan hidup yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup saat masih tinggal di daerah asalnya di Banjar Alas Angker Bueleleng, membuat istri Ketut Darmada ini mengalami gangguan kejiwaan.
Walaupun sudah berkali-kali diajak berobat ke Rumah Sakit Jiwa Bangli, Warniti  tak kunjung sembuh. Malah, penyakitnya kian parah dan sering kambuh jika mengingat kondisi perekonomiannya. Sang suami Ketut Darmada tak tahan dengan himpitan ekonomi yang dihadapinya. Diapun memutuskan memboyong istri dan ketiga anaknya mengais rejeki di Denpasar karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asalnya di Buleleng.
Namun, sesampainya di Denpasar, harapan untuk mendapat kehidupan yang lebih layak tampaknya jauh panggan dari api. Darmada hanya mendapat pekerjaan sebagai buruh proyek yang penghasilannya cuma pas-pasan untuk menghidupi ketiga anak dan istrinya. “Saya tidak punya biaya untuk pengobatan istri saya karena gaji saya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak-anak saya” tuturnya sambil menemani sang istri yang mengoceh tak karuan di sampingnya.
Karenanya minimnya penghasilan, keluarga miskin ini hanya mampu tinggal di rumah bedeng di kawasan jalan Kargo sari, Kelurahan Ubud Kaja. Bersama puluhan warga dan anak-anak miskin asal Buleleng  lainnya,  Darmada mendirikan bedeng tidak layak huni di tanah pinjaman seluas empat are. Dari bedeng kumuh itulah, Darmada mengais harapan mendapat kehidupan yang lebih baik di tengah kejamnya persaingan di ibu kota.
Walau sudah bekerja keras dari satu proyek ke proyek lainnya, Darmada tak kunjung punya uang lebih untuk mengobati sang istri. Akibatnya, penyakit Warniti  sering kambuh. Dia pun terpaksa mengikat sang istri karena tak punya biaya pengobatan. Darmada berharap ada uluran tangan pemerintah agar kesehatan jiwa istrinya bisa kembali.
Dia juga berharap program bedah rumah yang dijanjikan pemkab Buleleng terhadap rumah di kampung halamannya segera terealisasi sehingga dia bisa hidup layak dan tidak lagi tinggal di bedeng-bedeng seperti sekarang. “Saya berharap janji pemerintah untuk menyediakan tempat tinggal yang layak tidak hanya sekadar janji,” ujarnya.

Senin, 18 Juli 2011

Kusayangi Kau Karna Kau Menulis

Pramodya Ananta Toer pernah berpesan kepadaku, “Kau, Nak! Paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau kenapa kau kusayangi lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin. Akan abadi sampai jauh. Demikian jauh di kemudian hari....Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari  sejarah”
Kujawab pesanmu Pram lewat surat imajinasi ini dan kusampaikan, "Ya Pram. Begitu pula aku. Tak pernah kukagumi kau melebihi siapapun karna kau merajut ingatan bangsa ini melawan lupa. Kau menjariti lubang-lubang kelam masa lalu bangsa ini. Kau tambal dengan imajinasi dan curahan terdalam perasaanmu.
Maka hadirlah kitab keramat potret bangsa ini di masa lalu. Potret buram maupun cemerlang dalam goresan penamu. Di atas kitab itu pula, kaucurahkan peluhmu, kesahmu, gelisahmu, desah nafasmu, amarahmu, dan tak lupa kaububuhi pula dengan darahmu. Berapa liter darah yang kau cucurkan Pram? Berapapun itu, tak pernah sia-sia karena itu demi bangsamu, bangsa kita tercinta.
Kini semangatmu mengalir dalam darahku Pram. Tetesan darahmu suadah kucecap dan kuabadikan dalam tubuhku. Ajarannmu untuk terus menulis telah jadi menu harianku Pram. Walau hanya sekali sehari itupun dalam beberapa kata. Tapi itu awal yang baik kan Pram?? Semoga kau tak tertawa sinis mendengar pengakuanku. Semoga pula kau tak menyindirku dan membandingkan pendidikannku denganmu. Moga kau tak berteriak penuh amarah, “Hei kaum cendekia, penghuni sekolah tinggi, hantu kampus mana tulisannmu? Lihat! Lihatlah aku! Aku hanya tamatan SMP di zaman yang penuh desing peluru perjuangan memerdekakan diri dan bangsa. Tulisannku abadi di negeri ini bahkan tersebar di seantero dunia. Dikenal dalam empat puluh dua bahasa. Sedangkan kau. Dalam bahasa Indonesia pun tidak. Kasihan kau! Amat malang dan celaka kehidupanmu!”
Ahh,,,kau terlalu sensitif Pram. Tapi mungkin kau benar Pram. Kami memang tak setangguh dirimu mengolah imajinasi lewat kata lalu ke pena, beralih ke kertas dan akhirnya merebak jadi buku. Namun kini bayi-bayi calon penulis masa depan telah terlahir Pram. Pembenihan yang kau lakukan mulai berjalan lancar. Namun, ada juga embrio-embrio itu yang busuk di tengah jalan. Mereka menyerah Pram. Mungkin mereka ngeri mendengar anjuran sastrawan Prancis yang pernah merasai bekunya tembok penjara seperti dirimu Pram. Dia berteriak “Menulis!! Menulislah walaupun dengan darah sekalipun!!!” Ihhh....Ngeri banget kan Pram. Tapi itu pula yang telah kaulakukan Pram. Kau telah menulis dengan kucuran darahmu. Dan darah itu kini mengaliur di darah kami. Bersintesa dan akan beranak pinak mengaliri bangsa yang kalah ini. Bangsa yang bertekuk lutut pada kapitalisme dan neokolonialisme bangsa asing.
Tapi kadang tangan kami terasa terbelenggu rantai-rantai kebodohan dan kemalasan Pram. Mungkin ini akibat ilmu yang kami lahap  di bangku sekolahan  itu ibarat makanan berlemak dan basi. Makanan yang juga hanya itu-itu saja dulu kami santap tanpa mengeluh Pram. Karna bukan tugas kami mengeluh. Tugas kami adalah mencari makanan baru. Dan itu baru kusadari setelah bersua denganmu Pram. Semoga kau selalu bisa menginspirasi kami menemukan makanan baru Pram. Kuharap kau bukan menunjukkan jalan tapi memberi teka-teki menuju jalan itu layaknya pencari harta karun yang harus menguak tanda-tanda di peta. Makasi Pram menunjukkan tanda-tanda itu. Semoga kami bisa menemukan harta karun dan memberikannya pada bangsa yang sakit ini. Karena kami termasuk di dalammya Pram. Kami ingin sembuh dari penyakit yang menggerogoti kami. Dan menulis bisa jadi resep yang patut kami coba. Bukan dari dokter tapi darimu Pram.
 Ahh,,Pram. Mataku sudah kantuk. Kasur dan bantal empukku sudah merengek dari tadi minta ditemani. Tak apakah kau sendiri Pram?? Besok kutemui kau lagi atau mungkin nanti dalam mimpi kita bercakap. Hmm....Mungkin bukan sekadar bercakap tapi berdekap dan berpelukan lewat untaian kata. Karena, bisa kurasakan hangat dekapannmu lewat tulisanmu Pram. Selamat malam Pram!

Minggu, 17 Juli 2011

Cinta bukan Derita

Orang bilang cinta itu bisa jadi sumber derita. Kalau begitu kenapa kita tetap tertarik pada cinta? In my opinion, Love is the greater blessing that ever God given to us. Tapi kita memang penuh kreasi bahkan cinta yang indah itupun kita inovasikan dengan kosakata muram, buram dan jahanam "Sumber Derita".
Atau mungkinkah kita hanya cari sensasi di hadapan sang kuasa agar lebih diperhatikan? Ataukah pernyataan itu sebagai bentuk kekecewaan karena mengalami derita dan kekecewaan dalam percintaan akibat cara mencintai yang salah?
Cinta itu tak pernah punya kosakata sumber duka atau siksa ataupun derita. Kita sendiri yang membuat cinta itu penuh hiasan kata-kata busuk dan berdebu itu. Hingga hidung kita harus menghirup tak sedapnya cinta. Mata kita terpaksa menatap betapa jelaknya cinta hingga kelilipan dan memaki “Fuck!!” Telinga kita merah dan seisi lelinga mencair akibat kata-kata  panas yang kita anggap keluar dari mulut manisnya cinta.
 Lalu akhirnya kita mengakumulasi aggapan-anggapan tadi dan  mengkambinghitamkan cinta sebagai sutradara dibalik layar atas derita kita. Cita itu sumber derita begitu kesimpulan akhir kita. I suggest you all even myself, “Stop make conclude like that. Lets see our relationship with love. Have we placed it in right way  and right person?” Lets think together.

Pramuna Daud

Jumat, 15 Juli 2011

Bukan Aku

Aku memang kuli tapi bukan tuk kau bugili kehormatannku
Aku buruh tapi bukan tuk aku suruh-suruh seenak perutmu
Aku pelayan tapi buka tuk kau jadikan budak
Aku bumi tapi buka tuk terus kau injak
Aku bunga tapi bukan tuk kau petik tuk hanya jadi sampah jalanan
Itu bukan aku

Kamis, 14 Juli 2011

Belajar Dari Malam 1 : Merajut Mimpi

 Alarm di hpku mulai berkicau. Mata jam di dinding melotot. Jarum pendeknya bertengger di seputaran angka 5. Ayam mulai berkokok menandakan siang akan segera merapat. Ahh,, pertanda terhentinya waktu bermimpikah ini?
Malam tadi  bertabur bintang. Ribuan penghuni langit malam  menebar senyum manjanya menggoda sang pecinta untuk memadu kasih di bawah limpahan cahayanya. Pepohonan diterpa semilir angin sepoi-sepoi.
Ia saling berbisik dan menggosipkan siang. Rerumputan bermandikan embun dan berpesta  kesejukan. Semua makhluk kemarin malam menengadah  berharap malam tak cepat beranjak.
Malam adalah wahana tanpa batas bagi para pemimpi yang merajut helai demi helai benang harapannya tuk bisa menjadi kain indah yang bisa digeber dan dibanggkan ke tetangga.
Tiap malam helai demi helai mimpi ini kupintal bermandikan cahaya bulan dan ditemani senyum sang bintang. Angin malam pun berdesir membisikkan kelembutan dan kepastian bahwa besok malam masih ada tiket untuk bermimpi.

Nyanyian Mabuk

Duhai Manusia! Simaklah!                 
Apa sabda tengah malam yang dalam?
Aku lelap, lelap,
kini terjaga dalam mimpi yang dalam
Dunia ini dalam,
Lebih dalam dari yang diduga siang.
Deritanya dalam,
gairah –lebih dalam dari nestapa”
Derita bicara : Enyah!
Tapi segala gairah hasratkan keabadian,
hasratkan keabadian, keabadian maha dalam.

Terjemahan karya Friedrich Nietzsche oleh Berthold Damhauser dan Agus R. Sarjono, dikutip dari buku “Seri VI Puisi Jerman, Nietzsche Syahwat Keabadian”


The Real Life I Have Got on Street

I have just realized that I was nothing when I faced with the real life outside of School. Segala sesuatu yang kubanggakan saat duduk di bangku sekolah, seakan bertekuk lutut di hadapan taring kehidupan jalanan. Ya, Jalanan adalah Kehidupan yang Sebenarnya. So ? Bebaskan sesekali dirimu dari penjara yang bernama sekolah dan terjunlah ke jalanan. Maka akan kau temui bagaimana perjuangan hidup yang sebenarnya.
 
Foto ini menunjukkan kehidupan yang sebenarnya tidak seindah dan sesederhana teori-teori kering bangku sekolahan

Mutiara Kata Bahasa Jerman

Aus dem Augen, ein dem Sinn (Jauh di Mata, Dekat di Hati)

Besser Unrecht leiden als Unrecht Tun (Lebih baik menderita dalam ketidakadilan dari melakukan ketidakadilan)

Besser der Spatz in der Hand als die Taube in dem Dach (Lebih baik burung pipit di tangan dari burung merpati di atap) Syukuri apa yang kau miliki

 
try learn from anything you see

Rabu, 13 Juli 2011

PUISI MALAM 1

jangan bandingkan aku dengan burung karna sayapku telah patah tuk terbang ke kotamu
jangan bandingkan aku dengan angin karena desah nafasku tak bisa menerbangkan biji pepohonan tuk bertumbuh jadi ribuan
jangan bandingkan aku dengan bulan karena malam enggan memelukku hingga aku tak mendapat tempat bersinar karena siang telah dikontrak matahari
jangan bandingkan aku dengan arjuna karena panah cintaku tak pernah menemui satu sasaran pun
jangan kau bandingkan aku dengan bunga sakura karena keharumanku tak pernah menarik satu kumbang pun
jangan, jangan, jangan
karena aku ada bukan tuk kau bandingkan, kau timbang ataupun kau nilai
aku ada untuk kau rasakan kau terima apa adanya
layaknya bumi yang tak pernah mengeluh kau dan kita injak, kencingi, caki maki dan korbankan demi keabadian umat manusia
 
don't compare me to anything

Selasa, 12 Juli 2011

Mengapa Pustakawan Indonesia Tidak Menulis?

Ethiopia lebih berjaya dibanding Indonesia dalam hal kuantitas tulisan ilmuwannya. Dalam  Essays of an Information Scientist Volume I 1962-1973 (ISI Press, 1977),  ilmuwan Indonesia tahun 1972 hanya mempublikasikan 13 judul di pelbagai terbitan ilmiah dunia. Posisi kita  di peringkat 87 dari 150 negara.
Amerika Serikat di peringkat pertama (92.011 judul artikel), disusul Rusia (17.209), Jepang di peringkat 7 (8.473) dan India di peringkat 8 (5.144). Posisi Indonesia jauh di bawah Malaysia (peringkat 45/105 artikel), Singapura (49/78 artikel), Filipina (56/59), bahkan keok dari negeri miskin Afrika, Ethiopia,  yang berada di peringkat 84 dengan 16 judul artikel !
Realitas buram lawas di atas perlu diungkap kembali sebagai garis bawah artikel “Terbitkan atau Minggirlah” dari Agus M. Irkham di Kompas Jawa Tengah (15/9/2009) yang berteriak : akademisi Indonesia, mana karya-karya ilmiahmu ?
Gugatan yang menarik. Tetapi bila kita berkaca secara global, problem kurang menulisnya para akademisi itu bukan monopoli borok akademisi Indonesia semata.  Robert Boice, profesor psikologi dari State University of New York  dan Ferdinand Jones, profesor psikologi dari Brown University, dalam kajiannya berjudul “Why Academians Don’t Write” di Journal of Higher Education (Sept/Oktober 1984), menunjukkan bahwa aktivitas menulis yang rendah  juga penyakit kronis kalangan  akademisi AS.  Sebab aktivitas menulis memanglah bukan  hal yang  sederhana bagi mereka !
Kendala umum yang berhasil disidik dalam riset mereka, antara lain,  tiadanya daya dorong, momentum untuk menulis, tuntutan tugas mengajar  dan administratif yang menghalangi aktivitas menulis, kekurangan waktu, macet menulis (writing block) sampai kuatnya anggapan bahwa menulis sebagai penyakit patologis.
Yang paling mengentak adalah pernyataan bahwa menulis itu secara inheren memang sulit. Repotnya lagi, banyak orang meremehkan persyaratan tertentu yang diperlukan dalam kegiatan menulis.
Pertama, menulis bukan keterampilan mekanis seperti mengetik, yang merupakan aktivitas menuangkan ide ke atas kertas. Menulis menuntut persyaratan lebih dari itu, yakni keterampilan dalam menjelaskan sesuatu ide dan menjelajahi kaitan yang ada di antara pelbagai ide-ide tersebut.
Kedua, kegiatan menulis menuntut perhatian amat khusus. Menulis itu melelahkan, karena penulis dituntut memfokuskan perhatian secara terus-menerus ke arah sebuah pekerjaan  kompleks yang digenggamnya. Kontrol diri harus dilakukan secara disiplin dan ia pun harus pula memperhatikan adanya perbedaan khusus sasarannya, yakni pembaca dan bukan pendengar. Sebab menulis secara cermat menuntut secara mencolok adanya standar yang jauh berbeda dibanding kegiatan berbicara.
Ketiga, karena keterampilan menulis umumnya sulit difahami maka para penulis seringkali menamakan menulis sebagai ritus yang sarat bumbu misteri. Kisah tingkah nyentrik sastrawan terkenal dan pelbagai rumor yang dihubungkan dengan kegiatan menulisnya, misalnya seperti tidak mampunya seorang sastrawan menulis sebelum membaui apel busuk sampai kisah a la Victor Hugo yang harus telanjang bulat di kamar sebelum menulis, merupakan cerita yang memperkuat citra bahwa kegiatan menulis merupakan ritus yang  sangar  dan misterius.
Keempat, kuatnya hambatan eksternal yang juga membuat kegiatan menulis semakin terasa sulit. Misalnya, tingginya persentase penolakan untuk dimuat, lamanya menunggu pemuatan, keterbatasan pembaca media yang bersangkutan dan ancaman  kritik yang membuat ciut nyali seseorang untuk menulis. Penyebab lain, menyangkut parahnya defisiensi dalam pengajaran menulis di bangku pendidikan.
Keparahan itu misalnya dapat disimak dari kuatnya anggapan bahwa keterampilan menulis itu merupakan hasil belajar sendiri, atau bakat, sehingga menyuburkan asumsi bahwa penulis yang baik itu dilahirkan dan tidak diciptakan.
Hambatan sosio-kultural seperti diskriminasi terselubung untuk  kalangan akademisi perempuan atau etnis/suku tertentu, kebijaksanaan redaksi yang kurang fair seperti mementingkan tulisan para kolega (KKN) dan hanya memuat tulisan yang mencocoki apa yang dianutnya, status afiliasi penulis yang kurang disukai dan makin meningkatnya persyaratan kuantitas atau jumlah tulisan yang diperlukan untuk keperluan sesuatu promosi (cum), termasuk sebagai kendala signifikan yang berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menulis untuk keperluan dipublikasikan.
Media Internet sebagai solusi. Boice dan  Jones menawarkan solusi. Antara lain, langkah demokratisasi dalam proses publikasi ilmiah merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh guna menggairahkan para akademisi untuk menulis. Yakni keterbukaan keanggotaan panel keredaksian dan tinjauan (review) sesuatu jurnal ilmiah.
Cara lainnya, menyediakan kolom khusus untuk memuat tulisan penulis baru dan memberikan bimbingan. Komentar redaksi dalam mengembalikan tulisan yang belum dapat dimuat seyogyanya berupa tinjauan kritis, disertai dorongan dan saran untuk perbaikan. Solusi yang tak kalah mendesak  adalah upaya meningkatkan pengajaran keterampilan menulis di pelbagai jenjang pendidikan.
Tidak kalah pentingnya, hadirnya jurnal-jurnal elektronik berupa beragam situs web dan blog di Internet jelas pula menawarkan kemungkinan baru untuk mengeksplorasi kebutuhan menulis seseorang.  Media mutakhir tersebut sangat mengurangi kendala yang selama ini kental mengganjal kalangan akademisi dalam mempublikasikan karyanya.
Sebab kini menulis dapat dilakukan dengan gaya informal, yang  menjadikan menulis menjadi lebih mudah.  Juga karena tidak terbatasnya halaman yang tersedia membuat pelbagai jurnal elektronik tersebut mengendorkan keketatan sensornya dalam menerima sumbangan tulisan.
Bahkan kini seseorang dapat menerbitkan jurnal pribadinya dalam situs web pribadi/blog di Internet, berapa pun judul yang ingin ia kehendaki. Situs-situs blog itu membuat  kegiatan menulis tidak lagi elitis, ranah sebagian kecil akademisi atau ilmuwan tertentu.
Media blog mendemokratisasikan semua fihak untuk mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan dalam bentuk tertulis tanpa perlu terjerat kaidah-kaidah  menulis untuk keperluan publikasi yang ketat dan sulit ditembus seperti selama ini.
Resep jitu awet muda. Apakah pelbagai hambatan serupa juga menyelimuti kalangan pustakawan Indonesia, sehingga hanya super sedikit yang menulis, baik di media-media konvensional atau pun media-media maya selama ini ?
Ini imbauan pribadi. Rekan-rekan sejawat saya, yang dulu pernah sama-sama mereguki oasis informasi kepustakawanan di bangku kuliah atau pun berbakti di lahan profesi, kini banyak dari mereka yang sudah atau bersiap memasuki masa-masa pensiun. Mereka-mereka itu yang secara teoritis memiliki waktu lebih luang, juga memiliki kesempatan terbaik untuk berefleksi, alangkah baiknya, ini imbauan saya, agar mereka sudi mulai menulis.
Tentu saja, menulis mengenai perjalanan hidup mereka sendiri.  Ada nasehat seorang Bruce Schechter untuk bisa Anda camkan. Ia penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York, menulis artikel berjudul “Why time flies and how to slow down” di majalah McCall’s (10/1991). Artikel itu saya temukan  di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992.
Ada nasehat dirinya yang menarik, bahwa upaya mengerem laju jarum jam itu tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu kita.
Dengan menulis buku harian, menulis otobiografi dan menulis blog, merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu.  Sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal  campur aduk segala hal  tanpa makna.
Masa-masa lalu tersebut dapat  Anda urai  untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.
“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya.” Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku.
Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah computer. Kini tulisan kenangan tersebut  mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.”
Sebagai imbauan penutup, seorang Oscar Wilde (1854–1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, pernah berujar  : “Anybody can make history. Only a great man can write it.” Semua orang mampu menorehkan sejarah. Hanya orang-orang besar saja yang mampu menuliskannya.
Dunia menunggu para orang besar itu muncul dan hadir dari profesi kepustakawanan.  Andakah orangnya ?

Oleh Bambang Haryanto Sumber: Note Facebook Bambang Haryanto, 11 Juli 2011

Warnet, Diskriminasi Perpustakaan

Secara sederhana, arti perpustakaan kampus bisa diterjemahkan sebagai sebuah koleksi besar yang dibiayai dan dioperasikan oleh sebuah institusi, dan dimanfaatkan oleh mahasiswa yang rata-rata tidak mampu membeli sekian banyak buku atas biaya sendiri.
Di samping itu, bila dilihat dari tujuan menurut Pasal 4 Bab I Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007, tujuan utama perpustakaan, yakni dapat memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, dan memperluas wawasan serta pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di sisi lain, perpustakaan memainkan peranan penting sebagai jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan, memberikan kontribusi penting bagi terbukanya informasi tentang ilmu pengetahuan, tersedianya informasi dan data yang akurat bagi proses pengambilan keputusan serta perencanaan, dan pemustaka dapat menyegarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ditekuni dan diasuhnya.
Bila dilihat dari arti dan tujuannya, maka perpustakaan dimungkinkan akan banyak pemustaka karena memberikan manfaat yang positif. Namun, apa yang terjadi saat ini? Perpustakaan sepi dari pemustaka.
Ironis memang bila melihat keadaan seperti itu. Lalu apa sebabnya? Mudahnya, penyebab dari permasalahan tersebut adalah kemajuan teknologi yang ditandai dengan makin banyaknya warnet yang didirikan.
Fakta yang terjadi saat ini, banyak mahasiswa lebih memilih pergi ke warnet daripada perpustakaan. Tentu ada faktor pendorong yang melatarbelakanginya, seperti:
1. Mudahnya proses mengakses informasi di warnet. Ini berbanding terbalik dengan rumitnya proses yang diterapkan di perpustakaan, yaitu harus ada pendaftaran menjadi anggota perpustakaan terlebih dahulu dengan berbagai syarat.
2. Keterbatasan buku yang dimiliki menjadi kendala bagi perpustakaan. Namun, tidak terbatasnya informasi yang ditawarkan oleh warnet menjadi daya tarik tersendiri.
3. Banyaknya fasilitas yang dimiliki oleh warnet yang menggiurkan secara tidak langsung semakin menenggelamkan citra perpustakaan di mata mahasiswa saat ini.
Sudah menjadi bukti bahwa diskriminasi warnet terhadap perpustakaan. Bayangkan apa yang terjadi ke depannya bila ini terjadi dan tiada pemecahan masalah tersebut? Bukan tidak mungkin jika perpustakaan hanya akan menjadi sejarah yang dikenang di masa yang akan datang.
Maka dari itu, pengelola perpustakaan harus lebih cermat dalam pengembangan perpustakaan untuk mengembalikan citra dan menumbuhkan kembali minat mahasiswa untuk pergi ke perpustakaan.

Oleh: Andrias C
Sumber: Portal berita Okezone.com, 11 Juli 2011

Gerai Bumbu Desa Hadirkan Suasana Kampung di Tengah Kota

Suasana kampung di tengah perkotaan memang sangat sulit ditemukan. Apalagi di kota-kota besar seperti Denpasar. Namun lain halnya dengan tempat yang satu ini. ‘Tetap  kampungan’ menjadi slogan paradoks tempat ini di tengah gemerlap kota dan gempuran modernisasi.
Dengan menjungjung tema perpaduan tradisionalitas dan modernitas, gerai Bumbu Desa berhasil memikat para food hunter. Bumbu Desa kini memiliki lebih dari 30 gerai di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya di Bali. Gerai Bumbu Desa Bali yang mulai berdiri sejak 2008 ini berlokasi di Jalan Puputan Raya no 42 Renon.
Lokasinya memang strategi karena  terletak di kawasan Renon yang dikenal sebagai kawasan kuliner terkemukan di Bali.
Suasana pedesaan di Jawa Barat menjadi ciri khas gerai yang bernaung di bawah PT Bumbu Desa Indonesia ini. Ketika baru masuk areal gerai, pengunjung tidak perlu dipusingkan masalah parkir. Tempat perkirnya luas dan nyaman. Saat menuju pintu masuk, suasana pedesaan sudah mulai tampak. Di sisi kiri dan kanan pintu masuk dipasang bambu secara vertikal yang menyerupai terali. Masuk lebih ke dalam, terdapat rak-rak berisi kendi gerabah khas Sunda di sisi kanan gerai.
Di bagian atas bangunan terpasang hiasan lampu menyerupai sangkar burung yang didekorasi dengan kain batik. Di sisi kiri, terdapat rak berisi ratusan potongan balok asli. Situasi ini menambah kesan kampung. Selain itu, hampir di seluruh tembok terpampang foto-foto humanis warga Sunda dari Kampung Naga. Tampak ada foto petani yang membajak sawah, ibu-ibu yang menggendong bakul, serta anak-anak Parhyangan bermain dengan riang. Segala tingkah polah warga Kampung Naga serasa menyeret pengunjung masuk ke situasi kampung yang terkenal dengan keunikannya itu.
Bersebelah dengan rak kendi gerabah, terdapat stand makanan. Di sanalah pengunjung memilih makanan favoritnya. Tinggal tunggu lima sampai sepuluh menit untuk dipanaskan, hidangan langsung tersaji hangat dan segar. Puluhan menu tersedia di atas cobek kayu, seperti menu andalan ayam apesial bumbu desa, gurame pesmol, gurame bakar. Selain itu tersedia juga nasi merah, nasi putih, nasi hijau, dan nasi liwet. Namun yang menjadi menu khas Bumbu Desa di gerai manapun adalah gurame pesmol yang memadukan asam dan manis disertai bumbu khas Bandung. Sedangkan untuk gerai Bumbu Desa di kawasan Renon ini, yang paling laris biasanya adalah ayam bakar dan ayam cabai hijau.
Minumannya pun tidak kalah variatif. Tersedia lebih dari 50 varian seperti es kabayan, wedang jahe, es vanilla kopyor, dan lain-lain. Namun di gerai Bumbu Desa Bali terdapt dua minuman  khas yang tidak ada di gerai Bumbu Desa di kota lain. Pertama es mang koko yang terdiri atas campuran kelapa muda, nata de coco, santan dan ice cream. Rasanya segar karena dicampur es krim dan rasa gulanya khas. Kedua es sunda gaul yang beris campuran kelap muda, alpukat, nangka dan santan. Rasa es ini lebih variatif.
Di sebelah barat stand makanan, ada stand sambal beratap ilalang dan berhiaskan dedaunan. Pengunjung bisa mengambil sendiri sambal di tempat ini secara gratis. Bagi pengunjung yang benar-benar ingin merasakan makan seperti di kampung Sunda tersedia tempat lesehan di ujung barat gerai. “Kami ingin membuat pelanggan berimajinasi berada di Sunda”ujar supervisor Gerai Bumbu desa Bali Fredian.
Untuk menambah kesan kampung Sunda, gerai yang rata-rata dikunjungi 250 pengunjung per hari ini dilengkapi dengan  kentungan untuk memanggil waiter. Bunyi khas kentungan kian memanjakan telinga apalagi ditambah dengan musik Sunda yang diputar. Kedua bunyi ini memandu imajinasi pengunjung menyusuri jalan-jalan pedesaan di tanah Parhyangan.
Selain suasana yang mencerminkan alam kampung, kostum pegawainya pun mengentalkan kesan kehidupan kampung Sunda. Ada tiga jenis kostum khas yang digunakan yaitu balareang, si unyil, dan totopong. “Melalui kostum ini kami ingin melestarikan keanekaragaman busana khas Sunda selain untuk menambah kesan pedesaan,” terang Fredian.
Gerai yang buka dari jam 10 pagi hingga jam 10 malam ini sangat mengedepankan keramahan. “Keramahan adalah bagian dari budaya Sunda. Salah satu kekuatan pelayanan kami adalah adanya team murah senyum. Staf dan pegawai Bumbu Desa selalu memakai pin murah senyum. Hal itu untuk selalu mengingatkan mereka untuk tersenyum saat melayani pelanggan. Nah ketika Anda menemui pegawai kami memakai pin murah senyum tapi tidak tersenyum, tegurlah,” tutur Fredian.


Senin, 11 Juli 2011

PKB dalam Absurditas Sisifus



Beberapa hari lalu nuraniku terasa terkoyak. Dada sesak. Panas menyeruak dan menanjak ke ubun-ubun. Tak bisa kutahan geram dalam dada yang membara. Ah, berita buruk di Senin pagi. Bukan itu yang kuharapkan di tengah carut marutnya negeriku. Tak adakah berita baik? Ataukah berita baik itu tenggelam oleh ramainya teriakan berita buruk?
Kucoba tuk tak melempari televisi di depanku yang menyampaikan berita duka. Ya, berita duka akan adanya rencana Pesta Kesenian Bali (PKB) diselenggarakan tiga tahun sekali. “Negeri apa ini” keluhku bagai peluh yang keluar dari seluruh pori tubuh. Wacana ajeg Bali makin getol diumbar namun sekerap itu pula upaya pengingkaran mewabah. Bukankah ini suatu paradoks yang akan berkembang menjadi nihilisme  dan abdsurditas?
Kucoba menggiring memoriku menyelam ke masa silam. Ke masa dimana suatu nihilisme dan absurditas diterima dengan bijak oleh Sisifus sebijak kita berkilah tentang ajeg Bali. Bisa kubayangkan Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani itu, mungkin kini merasa tak sendiri. Sisifus yang rela menanggung kutukan dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia kini punya teman, KITA. Dia dihukum mengangkat batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya menggelinding ke bawah dan mengangkatnya kembali ke atas bukit. Begitupun kita mewacanakan dan mengupayakan ajeg Bali hanya untuk melihat hal ini dikhianati dan dirombak jadi puing kenangan sejarah.
Kubayangkan peluhnya mengucur dalam terpaan terik mentari. Kubayangkan haus penuhi kerongkongannya. Betapa kering bibir orang tua itu. Mungkin dia berhenti sesaat untuk menarik nafas dan mengais sisa semangatnya sambil mendongak mengira-ngira berapa jarak yang masih harus ditempuhnya. Ketika sampai di atas bukit, mungkin dia melongok ke bawah. Tersenyum lega dan merayakan kemenangan untuk sekian detik.
Dalam batas waktu yang pendek, itu dia memuncaki perjuangannya. Namun, ketika detik hukuman kembali melambai ia harus rela dan pasrah. Kubayangkan betapa pucat pasinya dia sepucat diriku merenungi berita duka tentang PKB. Dia dengan langkah lesu dan ragu namun tak kuasa menolak, mendorong batu besar itu ke bawah. Betapa kecewanya ia sekecewa diriku tentang ajeg Bali yang seolah hanya sebatas wacana  dan polemik tanpa niat yang kokoh untuk mewujudkannya.
Mungkin tak ada sekelumit  nada bahagia di wajahnya. Yang ada hanya tawa getir seiring tatapan sayu mengikuti batu yang melucur deras ke bawah bukit. Bisakah kita bayangkan sisifus bahagia? Jika bisa, tentu kita bisa pula bahagia membayangkan absurditas wacana perubahan waktu penyelenggaraan PKB dan cita-cita ajeg Bali yang baru sebatas diskusi di menara gading.
Albert Camus menyarankan “haruslah dibayangkan Sisifus bahagia.” Dan kini hal yang sama pula mungkin akan disarankan penguasa kita yang bermuka dua. “Haruslah dibayangkan ajeg Bali terjadi”. Dan manusia Bali harus berbahagia walau kita tiap hari menggiring batu semangat penegakan budaya Bali hanya untuk kita gelindingkan kembali dengan perintah sang penguasa. Inilah kutukan manusia Bali. Inilah kutukan kita. Senantiasa berlaku bagai Sisifus. Namun pada akhirnya yang bisa kita lakukank hanyalah membayangkan bahwa kita berbahagia walau mengerjakan sesuatu yang sia-sia.
Tak ada penyakit yang paling menyedihkan dari melakukan pekerjaan yang sia-sia. Dan manusia Bali hari ini sedang berjuang melawan penyakit itu. Jika penyakit itu tak kunjung terobati maka “haruslah dibayangkan.....” Ah mengatakan saja aku tak bisa, apalagi membayangkannya.

Ni Putu Adnyani: Eksplorasi Imajinasi Lahirkan Karya Unik


Selalu ada cara bagi orang-orang kreatif untuk mengaktualisasikan ide-ide briliannya. Seperti yang dilakukan Ni Putu Adnyani seorang pengusaha aksesoris berbahan perak. Dia membuat aksesoris bermotif naga yang digemari para pecinta aksesoris lokal maupun mancanegara.
Wanita kelahiran 15 Juni 1971 ini mengaku mendapat ide membuat aksesoris bermotif naga atas dasar pengalaman masa kecilnya. Wanita yang sehari-hari juga berprofesi sebagai guide wisatawan Jepang ini menuturkan, semasih duduk di bangku SMP, dirinya pernah melihat sosok menyerupai naga di tepi sungai Desa Bayuatis,Singaraja.
"Saat itu saya asyik mandi di sungai.Tiba-tiba ada sosok naga telihat terbang di atas pohon di tepi sungai itu. Saya terheran antara percaya dan tidak. Mungkin itu hanya imajinasi saya. Namun kenyataannya, kejadian itu membawa berkah berupa desain aksesoris unik yang banyak diminati" tuturnya.
Wanita yang berkediaman di Jalan Setra No. 4 Celuk Sukawati Gianyar ini membuat satu paket perhiasan bermotif naga yakni kalung, anting, gelang, cincin,dan bros. Produknya ini banyak diminati karena keunikan, kedetailan, dan kelangkaan desainnya. Bahkan, produknya juga diekspor ke Jepang dan Italia.
Istri Ketut Sumandi ini mengungkapkan, imajinasi, kreativitas, inovasi dan desain-desain unik menjadi suatu keharusan bagi pengusaha yang berkecimpung di bidang aksesoris. "Ide-ide kreatif bisa didapat dari mana saja. Ada banyak ide di sekeliling kita. Namun perlu kepekaan menangkapnya dan mengombinasikannya dengan imajinasi pribadi," papar wanita yang mengaku sering mendapat ide brilian ketika berjalan-jalan ke kebun binatang.
Selain itu, imbuhnya, setiap pembuatan desain haruslah betul-betul dijiwai. "Curahkan seluruh perasaan, imajinasi, serta ide agar tercipta produk yang seolah-olah hidup dan memacarkan karisma tersendiri sehingga bisa menarik konsumen," terang pemilik galery Bara Silver ini.

Made Asri Restuastuti : Pemburu Sampah Tanaman