Ide menghapus bhisama dalam pasal RTRWP Bali dinilai merupakan ide sesat. Tokoh agama, sulinggih, tokoh adat maupun akademisi seperti Ida Pedanda Gede Putra Bajing, Petajuh Bendesa Agung MUDP Bali Ida Dewa Gede Ngurah Swastha dan Rektor IHDN Denpasar Profesor Made Titib dengan tegas menolak rencana tersebut. Ditegaskan, Bhisama tidak boleh diotak-atik apalagi dihapus demi kepentingan segelintir orang. Jika ada yang berani menghapusnya, siap-siaplah menunggu kutukan bahkan menunggu kehancuran Bali.
Ida Pedanda Gede Putra Bajing ditemui di geryanya kemarin mengungkapkan, Bhisama merupakan keputusan yang dibuat orang-orang suci di Bali dan mengandung nilai-nilai spiritual dan agama yang tinggi sehingga patut diamalkan dan dijaga bukan malah diotak-atik apalagi dihapus. Menurutnya, hendaknya tidak segampang itu mengubah apalagi menghapus Bhisama karena sejak dahulu bhisama sudah menjadi pegangan filosofis masyrakat Bali dan tebukti ampuh menjaga Bali. “Jangan asal-asalan ingin menghapus Bhisama, nanti gumi Bali uwug,” ujarnya.
Ditegaskannya, para elit di pemerintahan dan dewan hendaknya memaknai spirit Bhisama itu sendiri secara niskala. Jangan sampai kebijkan yang diambil bertentangan dengan niai budaya Bali, aspirasi serta hati nurani masyarakat Bali terlebih jika demi kepentingan segelintir orang sehingga mengorbankan Bali. “Jangan ngomong saja ajeg Bali tapi dalam langkahnya tidak seperti itu. Sedangkan masyarakat di bawah sangat taat, patuh dengan segalanya. Kenapa elit-elit politik yang tidak beres, tidak mengerti, tidak tahu dengan nilai-nilai budaya Bali?” tudingnya.
Siap-Siap Terima Kutukan
Penolakan tegas juga muncul dari Petajuh Bendesa Agung MUDP Bali Ida Dewa Gede Ngurah Swastha. Dihubungi terpisah, Dewa Gede Ngurah Swastha menegaskan Bhisama harus menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang dalam upaya membangun Bali. Bhisama merupakan implementasi konsep Tri Hita Karana sehingga mutlak harus tetap ada, tidak boleh diganggu gugat. “Kalau itu dilakukan akan kami gugat selaku manusia Bali” ujarnya.
Ngurah Swastha juga mempertanyakan kenapa sampai ada wacana menghapus Bhisama karena Bhisama itu merupkan suatu yang sakral dan suci. “Coba tanya kita orang-orang Bali terutama para gotra dan soroh. Semua punya peninggalan Bhisama dari para leluhurnya. Beranikah mereka mempersoalkan Bhisama para leluhur? Apalagi melanggar bahkan menghapus? Tidak! Apapun itu, biasanya dilaksanakan karena itu titah leluhur dan berisi pamastu. Jika dihapus pamastu (kutukan) itu pasti berjalan” tandasnya.
Jangan dihancurkan
Rektor IHDN Denpasar Profesor Made Titib dengan tegas menolak penghapusan pasal Bhisama. Menurutnya jika diibaratkan undang-undang dasar, keberadaan Bhisama dalam perda RTRWP merupakan pembukaan atau preambul yang menjiwai pasal-pasal lainnya sehingga tidak boleh diganggu gugat. Ditambahkannya, bhisama harus tetap berada dalam pasal karena jika hanya dimasukkan dalam penjelasan kekuatan bhisama akan melemah sehingga upaya menjaga kesucian kawasan pura tidak akan berarti lagi. “Saya sedih jika nanti di samping pura ada hotel tinggi, megah, trus pura kita kecil. Jangan dihancurkan! Kita harus punya kesadaran. Jangan sampai orang Bali tidak memiliki Bali lagi.” Ditegaskannya, Bhisama tidak boleh dihilangkan demi menjaga Bali. “Jangan sampai kesucian Bali hilang, kepribadian masyarakat Bali pecah. Jika ini terjadi jangan-jangan penduduk Bali bukan orang Hindu lagi. Lalu apa yang bisa kita harapkan?” tanyanya. (wid)